Tanggal 21 April dalam kalender kebangsaan kita dinobatkan sebagai Hari
Kartini. Hari yang mengingatkan kita ihwal pentingnya emansipasi
perempuan dari sistem yang menindas dan diskriminatif. Kartini melalui
surat-surat yang dihimpun Abendanon yang saat itu menjabat menteri
kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda yang berjudul Door
Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) menyuarakan
pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan agar dapat keluar dari sekapan
keterpurukan itu. Pendidikan sebagai pintu masuk untuk menanamkan
kesadaran eksistensial tentang manusia dan kemanusiaan tanpa disekat
alasan perbedaan jenis kelamin.
Nubuat pembebasan yang dijangkarkannya pada haluan religieusiteit,
wijsheid, en schoonheid (keilahian, kesantunan, dan keindahan). Selain
berpijak pada spirit humanitarianisme (kemanusiaan) dan cinta Tanah Air
(nasionalisme) seperti tampak dalam zelf-ontwikkeling, zelf-onderricht,
zelf-vertrouwen, zelf-werkzaamheid, dan solidariteit. Tentu saja risalah
mulia seperti ini bukan hanya penting, melainkan juga akan terus
memiliki relevansi dan tingkat aktualisasi yang tinggi justru ketika
perempuan masih belum menemukan citra dirinya secara ontologis
sebagaimana yang difantasikan Raden Ajeng Kartini. Seperti yang
dicita-citakan Kartini.
Peringatan Hari Kartini dalam konteks ini pada hakikatnya bukan sekadar
mengingat masa silam tentang kiprah dan perhatian R.A. Kartini terhadap
dunia perempuan. Apalagi sekadar atraksi kegenitan menyelenggarakan
festival kebaya dan konde khas ideologi “perempuan darma wanita”. Lebih
jauh dari itu, ialah bagaimana spirit Kartini itu terinternalisasikan
dan pesan substantifnya mengorbitkan kesadaran baru bagi terwujudnya
tata dunia yang egalitarian dan lebih melihat manusia bukan dari sisi
gender dan hal ihwal artifisial lainnya.
Namun, kepada karya nyata, keluhuran akal budi, dan keelokan pekerti,
baik posisi mereka sebagai ibu rumah tangga, guru, dosen, perawat,
pekerja sosial, politikus, dokter, maupun posisi lainnya. Konteks
Sekarang Harus diakui sebelum pesan-pesan Kartini itu dengan tuntas
dapat kita wujudkan dalam atmosfer kehidupan sehari-hari, tiba-tiba hari
ini kita dihadapkan pada fenomena dahsyat globalisasi yang tidak kalah
berat tantangannya jika dibandingkan dengan yang dialami masa Kartini.
Pada zaman Kartini, ketertindasan itu lebih nyata dan tampak dalam
bentuk kolonialisasi fisik seperti yang diperagakan kaum penjajah atau
menak pribumi yang berpandangan feodal, sedangkan sekarang ini
penjajahan itu bergerak di wilayah simbolis atau dalam telaah Majid
Tahrenian disebut dengan tirani kognitif. Kolonialisasi dalam wujud
kekerasan yang berkecambah di wilayah serabut saraf bawah sadar.
Saat ini perempuan tidak lagi berhadapan dengan sistem diskriminatif
yang dikonstruksikan budaya dan kepercayaan (agama), tapi mereka
mengalami serbuan globalisasi melalui “agama baru” dengan daya cengkeram
yang tidak kalah mengerikan, budaya populer. Dalam budaya populer
jangan bayangkan ada penawaran kedalaman, pencerahan, keinsafan,
transendensi, dan humanisasi, tapi dengan rapi dan nyaris tak banyak
disadari menghunjamkan luka pendangkalan, pembodohan, pelupaan, dan
penistaan terhadap fungsi dan harkat kemanusiaan.
Tiba-tiba konsep diri perempuan pun lebih didefinisikan sebatas “tubuh”
dengan segala ornamennya demi mengejar identitas cantik. Cantik yang
sebelumnya telah dirumuskan iklan melalui media televisi, internet,
majalah, media sosial, dan koran. Lipstik interaksi simbolisnya bukan
sekadar bertemali dengan zat pewarna bibir, melainkan lebih sebagai
“ideologi sensualitas” untuk mengejar pasar agar masuk kategori seksi,
menarik, dan memiliki daya pikat seperti yang diperagakan idolanya itu.
Tubuh material yang telah kehilangan daya spiritual.
Tubuh yang telah tersungkur dalam daulat iklan yang dengan intens
mengabarkan payudara ideal, pinggang ramping, dan lengkung alis mata.
Lengkap dengan petunjuk alat-alat kebugaran dan alamat senam yang mesti
didatangi. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan sosiolog muslim
terkemuka Akbar S. Ahmad bahwa musuh umat Islam itu bukan tubuh Yesus
yang sedang disalib sebagai penebus dosa manusia, melainkan tubuh
“Madonna” yang memancarkan pesona sihir sensualitas dan dapat
menghipnosis sekian juta hasrat perempuan dan laki-laki.
Musuh bersama itu ialah “tubuh politik” yang menawarkan daya
“pornografi” berupa politik transaksional, dagang sapi, korupsi, dan
banal. Tubuh politik yang hanya berbicara kalah-menang, bukan benar dan
salah. Tubuh politik pornografi seperti itu ternyata selalu gentayangan
dari satu pemilu ke pemilu yang lain. Tiba-tiba suara rakyat berubah
menjadi angka dan angka di tangan para pialang politik didagangkan di
pasar koalisi dengan harga sesuai dengan nafsu kuasa mereka. Suara
rakyat sebagai epifani suara Tuhan mungkin hanya tinggal gema. Selesai
pemilu, rakyat dan Tuhan menyingkir ke luar gelanggang kebangsaan dan
yang tersisa ialah absurditas atraksi kerumunan politikus.
The Feminine Mystique
Inilah sebuah fenomena yang disebut Betty Friedan sebagai “mistik
perempuan” dalam kitabnya yang laris, The Feminine Mystique. Perempuan
sebagai misteri mistis itu telah kehilangan auranya karena seperti dalam
elaborasi Idi Subandy Ibrahim (2007), urusan kecantikan dan
pemeliharaan tubuh telah menggeser akal budi. Telah menjadi industri.
Sementara itu, kecantikan telah menjadi bagian dari konstruksi pasar dan
komoditas menjanjikan. Tentu saja dalam konteks “mistik keperempuanan”
tidak ada lagi jelajah mencari kebenaran.
Kebenaran bukan lagi diacukan kepada nalar (Descartes), roh absolut
(Hegel), kebersamaan (Gabriel Marcel), ada (Haidegger), cinta kasih
(Levinas), apalagi agama dan kearifan tradisional yang sejak awal telah
dianggapnya sebagai sesuatu yang kuno, melainkan justru kepada “tubuh”.
Tubuh menyeruak menjadi kiblat dari seluruh sejarah kita. "Tubuh muncul
sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk menjual komoditas dan jasa
sekaligus sebagai objek yang dengan sendirinya dikonsumsi. Agar bisa
digunakan sebagai objek untuk menjual pelbagai hal, tubuh harus “direka
ulang” oleh “pemiliknya" dan dilihat secara narsisme, seperti tafsir
Jean Baudrillard dalam The Consumer Society: Myths and Structures (I
Subandy Ibrahim, 2007).
Alhasil, 21 April di awal abad ke-21 tentu bukan sekadar penanda dari
sebuah kehendak membebaskan perempuan yang disimpulkan Kartini,
melainkan juga iktikad untuk tidak pernah lelah mempertanyakan adakah
suara Kartini itu saat ini hanya menjadi gema seperti dengan bagus dan
cukup menggelitik ditulis penyair Joko Pinurbo pada 1997 tentang Kartini
dalam Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem: 'Raden
Ajeng Kartini terbatuk-batuk/di bawah cahaya lampu remang-remang/Demam
mulai merambat ke leher/encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang/Dan
angin pantai Jepara yang kering/berjingkat pelan di alis yang tenang/di
pelupuknya anak-anak kesunyian ingin lelap berbaring, ingin teduh dan
tenteram/"Terimalah salam damaiku/lewat angin laut yang kencang,
dinda/Resah tengah kucoba/ Sepi kuasah dengan pena.../Di telapak
tangannya perahu-perahu dilayarkan/ke daratan-daratan hijau,
negeri-negeri jauh/tak terjangkau "Badai, dinda, badai menyerbu ke atas
ranjang/Kaudengarkah kini biduk mimpiku/sebentar lagi karam di laut
Rembang?"/Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk/di bawah cahaya lampu
remang-remang/Demam membara, encok meruyak pula/ Dan sepasang alap-alap
melesat/dari ujung pena yang luka'.
0 komentar:
Posting Komentar