Suwito (17), warga Desa Kajar, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah, tidak pernah tahu secara detail kisah sejarah peninggalan
Kerajaan Majapahit di Gunung Kajar, Pegunungan Lasem. Paling-paling
siswa sebuah sekolah negeri di Lasem itu sebatas tahu nama dan letak
lokasi peninggalan-peninggalan.
”Bapak dan Ibu tidak pernah
cerita. Dahulu Kakek pernah cerita waktu saya masih kecil, tetapi
sekarang sudah lupa. Di sekolah pun, sejarah lokal kurang mendapat
perhatian,” kata Suwito yang turut menyaksikan kegiatan Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang menyusuri jejak-jejak
Majapahit di Desa Kajar, Sabtu (15/8).
Desa Kajar terletak di
lereng Gunung Kajar, salah satu bagian dari Pegunungan Lasem. Dari kota
tua Lasem atau jalan pantai utara Lasem, desa dengan sumber air yang
melimpah itu berjarak sekitar 7 kilometer ke arah selatan.
Desa
Kajar mempunyai empat peninggalan Kerajaan Majapahit. Peninggalan itu
berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu tapak,
goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar. Peninggalan itu tidak
mengumpul di satu tempat, tetapi tersebar di sejumlah titik Gunung
Kajar.
Kisah di balik peninggalan itu tidak terlepas dari
sejarah Kadipaten Lasem pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan
laporan ”Rekonstruksi Sejarah Kadipaten Lasem” garapan MSI Kabupaten
Rembang, Kadipaten Lasem muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi
membentuk Dewan Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu pada 1351.
Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi,
adik kandung Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan anggota Dewan
Pertimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal dan
menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan,
yang kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem.
Dalam Nagarakertagama
dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet Mulyana, kisah Dewi Indu dan
Rajasawardana tercatat di terjemahan Negarakertagama Pupuh V dan VI.
Dalam Pupuh V Ayat 1 disebutkan, ”Adinda Baginda raja di Wilwatikta:
Puteri jelita, bersemayam di Lasem Puteri jelita Daha, cantik ternama
Indudewi Puteri Wijayarajasa”.
Begitu pula dalam Pupuh VI Ayat
1, ”Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana Laki tangkas
rani Lasem bagai raja daerah Matahun Bergelar Rajasawardana sangat bagus
lagi putus dalam naya Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan
Pinggala”.
Dalam pupuh yang sama pada Ayat 3 disebutkan, ”Bhre
Lasem Menurunkan puteri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai
permaisuri pangeran di Wirabumi Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri
Wikramawardana Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra”.
Kawruh ajaran
Sejarawan Lasem, Slamet Widjaya, mengatakan, Lasem, khususnya Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit. Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan Majapahit.
Sejarawan Lasem, Slamet Widjaya, mengatakan, Lasem, khususnya Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit. Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan Majapahit.
”Kajar merupakan kependekan dari ’ka’ yang berarti kaweruh (pengetahuan) dan ’jar’ yang berarti ajaran,” kata Slamet.
Menurut dia, bukan hal yang mengherankan jika pada 1354 Hayam Wuruk
berkunjung ke Lasem dan Desa Kajar. Untuk mengenang kunjungan itu
sekaligus sebagai prasasti tanda daerah kekuasaan Majapahit, Bhre Lasem
membuat ukiran telapak kaki Hayam Wuruk di sebuah batu andesit di lereng
Gunung Kajar.
Hingga kini, ukiran telapak kaki itu masih ada
dan warga Desa Kajar meyakini ukiran itu sebagai bekas telapak kaki
Hayam Wuruk. Warga kerap menyebut batu telapak kaki itu sebagai watu
tapak.
Peninggalan-peninggalan lain Majapahit, seperti goa
tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar, juga menunjukkan peran penting
Desa Kajar selama Majapahit berkuasa. Goa tinatah merupakan dua goa yang
terletak di Gunung Kajar.
Goa pertama merupakan tempat menyepi
pejabat atau panglima Majapahit. Goa itu hanya muat untuk satu orang.
Goa kedua merupakan tempat para prajurit yang dibawa pejabat atau
panglima Majapahit itu berjaga-jaga. Goa kedua itu dapat memuat sekitar
15 orang.
Setelah menyepi selama beberapa waktu di goa tinatah,
pejabat atau panglima Majapahit itu disucikan dengan air Kajar. Dia
duduk di sebongkah batu yang mirip kursi. Warga kerap menyebut kursi itu
sebagai kursi kajar.
Selain itu, untuk menghargai Desa Kajar
sebagai tempat yang membawa kesuburan bagi daerah lain karena banyak
sumber mata air, Bhre Lasem membuat lingga berhuruf palawa di dekat
lingga pada zaman batu dan salah satu mata air Kajar.
”Lantaran
tidak terawat, huruf palawa di lingga itu sulit dibaca lagi. Begitu
pula peninggalan-peninggalan Majapahit lain, misalnya kajar kursi, juga
tidak terperhatikan. Batu itu tidak lagi menyerupai kursi karena telah
hancur sebagian,” kata Ketua Umum MSI Kabupaten Rembang Edi Winarno.
Pelestarian sejarah
Untuk melestarikan situs Majapahit di Desa Kajar, Lasem, MSI berupaya mengajak warga sekitar dan guru turut menjaga situs sesuai dengan peran mereka masing-masing. Sebagai langkah awal, MSI menapak tilas peninggalan-peninggalan itu bersama 100 guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Sejarah di Rembang. ”Kami berupaya memperkenalkan studi sejarah lokal berbasis realitas kepada para guru. Harapannya, mereka dapat menerapkan metode itu kepada murid-muridnya,” kata Edi.
Untuk melestarikan situs Majapahit di Desa Kajar, Lasem, MSI berupaya mengajak warga sekitar dan guru turut menjaga situs sesuai dengan peran mereka masing-masing. Sebagai langkah awal, MSI menapak tilas peninggalan-peninggalan itu bersama 100 guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Sejarah di Rembang. ”Kami berupaya memperkenalkan studi sejarah lokal berbasis realitas kepada para guru. Harapannya, mereka dapat menerapkan metode itu kepada murid-muridnya,” kata Edi.
Selain itu, lanjutnya, MSI berupaya mendokumentasikan situs sejarah
Majapahit tersebut. Dokumentasi itu merupakan salah satu materi
rekomendasi MSI kepada Pemerintah Kabupaten Rembang.
MSI
berharap Pemkab Rembang menjadikan situs Majapahit di Lasem sebagai
laboratorium sejarah. Situs itu dapat pula menjadi tempat wisata
penyusuran jejak-jejak peninggalan Majapahit di Lasem.
”Selama
ini, tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa di Lasem ada peninggalan
Majapahit. Pemkab pun selama ini kurang memedulikan aset sejarah dan
wisata itu sehingga benda-benda di situs itu banyak yang tidak terawat,”
ujarnya. (HEN)
0 komentar:
Posting Komentar