Sejarah diperingatinya Hari Kartini pada tanggal 21 April adalah setelah
ditetapkan oleh Presiden Soekarno dengan surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No.108 Tahun
1964 tertanggal 2 Mei 1964 dimana Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional dan sekaligus menetapkan hari lahirnya yaitu
tanggal 21 April diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Pemilik nama lengkap Raden Adjeng
Kartini ini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa,
putri Raden Mas Sosroningrat bupati Jepara kala itu. Kartini lahir dari
keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat mulanya adalah
seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A.
Ngasirah putri dari Nyai
Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono seorang guru agama di Teluwakur,
Jepara. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara baik saudara
kandung dan maupun saudara tiri.
Dari kesemua saudara kandung Kartini
merupakan anak perempuan tertua. Kartini mempunyai silsilah keturunan
keluarga yang cerdas dimana kakeknya yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro
IV diangkat menjadi bupati pada usia 25 tahun. Sedangan Kartini
mempunyai kakak yang bernama Sosrokartono beliau adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere
School) sampai usia 12 tahun dan salah satu mata pelajarannya adalah
bahasa Belanda. Ia mulai belajar menulis surat kepada teman-teman
korespondensi yang berasal dari Belanda, diantaranya adalah Rosa
Abendanon yang banyak mendukungnya melalui buku-buku, koran, dan majalah
Eropa. Kartini sangat tertarik pada kemajuan berpikir
perempuan-perempuan di Eropa hingga timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi yang pada saat itu berada pada status sosial yang
rendah. Surat-
surat Kartini sebagai hasil korespondennya dengan beberapa rekan sahabatnya di Eropa.
surat Kartini sebagai hasil korespondennya dengan beberapa rekan sahabatnya di Eropa.
Kemudian dijadikan sebuah buku yang berjudul Habis Gelap Terbitlah
Terang. Kartini menikah dengan bupati Rembang Raden Adipati
Joyodiningrat pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini oleh
karenanya ia diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah
wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang
yang kini digunakan sebagai Gedung.
Pramuka. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada
tanggal 13 September 1904. Beberapa hari setelah melahirkan, tepatnya
tanggal 17 September 1904 Kartini menghembuskan nafas terakhirnya di
usia yang masih terbilang muda yaitu pada usia 25 tahun. Kartini
dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
Habis Gelap Terbitlah
Terang adalah buku
kumpulan surat yang ditulis
oleh Kartini. Kumpulan surat
tersebut dibukukan oleh J.H.
Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht.
Setelah Kartini wafat, Mr.
J.H. Abendanon
mengumpulkan dan
membukukan surat-surat
yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-
temannya di Eropa.
Buku Habis Gelap Terbitlah
Terang diterbitkan kembali
dalam format yang berbeda
dengan buku-buku terjemahan dari Door
Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini
dicetak sebanyak sebelas
kali. Selain itu, surat-surat
Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa dan bahasa
Sunda. Armijn Pane
menyajikan surat-surat
Kartini dalam format
berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi
kumpulan surat-surat
tersebut ke dalam lima bab
pembahasan. Pembagian
tersebut ia lakukan untuk
menunjukkan adanya tahapan atau perubahan
sikap dan pemikiran Kartini
selama berkorespondensi.
Pada buku versi baru
tersebut, Armijn Pane juga
menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87
surat Kartini dalam “Habis
Gelap Terbitlah Terang”.
Penyebab tidak dimuatnya
keseluruhan surat yang ada
dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah
terdapat kemiripan pada
beberapa surat. Alasan lain
adalah untuk menjaga jalan
cerita agar menjadi seperti
roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini
dapat dibaca sebagai
sebuah roman kehidupan
perempuan. Ini pula yang
menjadi salah satu
penjelasan mengapa surat- surat tersebut ia bagi ke
dalam lima bab pembahasan
Terang adalah buku
kumpulan surat yang ditulis
oleh Kartini. Kumpulan surat
tersebut dibukukan oleh J.H.
Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht.
Setelah Kartini wafat, Mr.
J.H. Abendanon
mengumpulkan dan
membukukan surat-surat
yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-
temannya di Eropa.
Buku Habis Gelap Terbitlah
Terang diterbitkan kembali
dalam format yang berbeda
dengan buku-buku terjemahan dari Door
Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini
dicetak sebanyak sebelas
kali. Selain itu, surat-surat
Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa dan bahasa
Sunda. Armijn Pane
menyajikan surat-surat
Kartini dalam format
berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi
kumpulan surat-surat
tersebut ke dalam lima bab
pembahasan. Pembagian
tersebut ia lakukan untuk
menunjukkan adanya tahapan atau perubahan
sikap dan pemikiran Kartini
selama berkorespondensi.
Pada buku versi baru
tersebut, Armijn Pane juga
menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87
surat Kartini dalam “Habis
Gelap Terbitlah Terang”.
Penyebab tidak dimuatnya
keseluruhan surat yang ada
dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah
terdapat kemiripan pada
beberapa surat. Alasan lain
adalah untuk menjaga jalan
cerita agar menjadi seperti
roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini
dapat dibaca sebagai
sebuah roman kehidupan
perempuan. Ini pula yang
menjadi salah satu
penjelasan mengapa surat- surat tersebut ia bagi ke
dalam lima bab pembahasan
Dan ini adalah beberapa isi Surat kartini yang berhasil ditemukan
dalam sejarah kartini : “Menyandarkan diri kepada manusia, samalah
halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah
hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak
terikat kepada seorang manusia pun ia sebenar-benarnya bebas.”
[Surat Kartini kepada Ny. Ovink, Oktober 1900] “Supaya Nyonya jangan
ragu-ragu, marilah saya katakan ini saja dahulu: Yakinlah Nyonya, KAMI
AKAN TETAP MEMELUK AGAMA KAMI yang sekarang ini. Serta dengan Nyonya
kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat
bekerja MEMBUAT UMAT AGAMA LAIN MEMANDANG AGAMA ISLAM PATUT DISUKAI . . .
ALLAHU AKBAR! Kita katakan sebagai orang Islam, dan bersama kita juga
semua insan yang percaya kepada Satu Allah, Gusti Allah, Pencipta Alam
Semesta” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902] “Bagaimana
pendapatmu tentang ZENDING (Diakonia), jika bermaksud berbuat baik
kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta-kasih, bukan dalam
KRISTENISASI? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri memeluk
agama lain, merupakan dosa yang sebesar- besarnya . . . Pendek kata,
boleh melakukan Zending, tetapi JANGAN MENG-KRISTEN-KAN ORANG!
Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 31 Januari 1903] “Kesusahan kami
hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu
kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan…” “Ingin benar saya
menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdullah).” [Surat
Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 1 Agustus 1903] R.A. Kartini dan
Pandangannya Terhadap Emansipasi dan Barat “Kami di sini memohon
diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, BUKAN SEKALI-
SEKALI KARENA KAMI MENGINGINKAN ANAK-ANAK PEREMPUAN ITU MENJADI SAINGAN
LAKI-LAKI DALAM PERJUANGAN HIDUPNYA. Tapi
karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama- tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902] “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid- murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan.” [Surat Kartini kepada Ny. E.E. Abendanon, 10 Juni 1902] “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu- satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik
hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 27 Oktober 1902]
karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama- tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902] “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid- murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan.” [Surat Kartini kepada Ny. E.E. Abendanon, 10 Juni 1902] “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu- satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik
hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 27 Oktober 1902]
0 komentar:
Posting Komentar